AKU CINTA
KAMU…
Sabtu sore di Surabaya, mendung kelam kelabu.
Seorang gadis remaja berjalan dengan wajah yang muram di perkampungan kumuh
dekat rel kereta api. Gadis itu adalah Metha. Metha merupakan anak tunggal yang
ditinggal orangtuanya pindah tugas ke Bali. Awalnya orangtuanya memaksa agar
Metha mau ikut pindah, tapi ia ngambek sejadi-jadinya. Orangtuanya pun menyerah
dan membiarkannya tetap di Surabaya. Walaupun begitu, dia tidak sendirian, dia
bersama Bi Siti, pembantu yang sudah mengasuhnya sejak kecil. Terlebih ada Rio
yang selalu menjaganya, orangtua Rio dan orangtuanya sangat akrab sehingga
mereka tidak begitu khawatir meninggakan Metha .
Saat Metha sedang berjalan, tiba-tiba ada yang
memanggilnya.
“Metha.. Ngapain kamu
disini?” tanya orang itu
“Ehh Citra.
Aku kira siapa. Aku? Aku mau pulang..” jawab Metha dan mereka pun berjalan
beriringan
Citra merupakan teman sekelasnya yang bisa
bersekolah dengan mengandalkan beasiswa karena berasal dari keluarga yang
pas-pasan. Ia bukan sahabat Metha tapi mereka berteman akrab. Citra memang
tinggal disekitar sini, jadi wajar saja kalau mereka bertemu.
“Bukannya
kita tadi pulang cepat. Kok kamu baru pulang. Ehmm.. Kamu jalan kaki?” tebak
Citra, langkahnya terhenti
“Iya.
Sekalian olahraga” kata Metha tersenyum dan terus berjalan
“Wow.. Susah dipercaya” ujar
Citra seraya mengejar Metha
“Biasa aja lagi. By the way,
jauh juga ya. Capek.. hehehee”
“Bukan gitu
Tha. Aku yang naik sepeda aja capek, apalagi jalan kaki. Dari sekolah kesini 11
blok. Kalo ke rumah kamu, kira-kira 18 blok.
Biasanya kamu bareng sama Katam, mana dia?”
“Katam?”
tanyanya bingung
“Iya Katam.
Kakak Tampan. Itu lo Kak Hapriyo Putra Mahendri”
“Oalah..
Rio. Tadikan kita pulang cepet, jadi ya gak bareng. Kenapa? Naksir ya?” goda
Metha
Tanpa sepengetahuan Metha, anak kelas X menjulukin
Rio sebagai Katam (Kakak Tampan), bahkan anak kelas XI dan XII juga memberinya
gelaran-gelaran lain. Rio merupakan idola sekolah. Wajar saja, karena selain
tampan, dia juga sopan, pintar dan jago basket.
“Ya enggaklah.
Kalian itu jodoh tau” ujar Citra dengan pandangan menerawang
Wajah Metha
memerah. “Hahahaa.. Kamu pake ajian apa sampai tau kami ini jodoh”
“Inisial
nama. Kamu Methalita Putri Hutama - MPH, dia HPM. Tinggal dibolak-balik aja.
Lucu bangetkan?”
“Ada-ada
aja kamu ya. Kayaknya aku harus buru-buru deh, mau hujan”
Kemudian mereka berpisah di perempatan jalan.
Sebenarnya Citra bersedia mengantar Metha pulang dengan sepedanya, hanya saja
Metha tidak mau. Dia kasihan melihat temannya itu. Setiap hari harus mengayuh
sepeda pulang pergi sekolah dan masih harus membantu orangtuanya bekerja
sepulang sekolah. Citra selalu terlihat bahagia dan menikmati hidupnya.
Berbanding terbalik dengan dia yang manja dan tukang ngambek. Itu yang selalu
dikatakan Rio kalau dia sudah mulai manja kronis dan ngambek akut.
Gerimis, Metha mempercepat langkahnya. Tapi
tiba-tiba pikirannya melayang entah kemana dan kakinya mulai melambat. Hatinya
perih, dadanya nyilu, membuat ia susah bernafas. Ingin menangis tapi sulit…
Hujan pun turun dengan derasnya.
Metha sampai di rumah, tentu saja dengan keadaan
basah kuyup. Dia berusaha sekuat tenaga agar bisa segera ke kamar.
“Mba Metha kok iso keudanan
se?” ujar Bi Siti dengan logat jawa yang kental
Metha hanya memjawab pertanyaan itu dengan senyuman
dan terus saja berjalan ke kamarnya yang ada di lantai dua, padahal dia tau
bahwa Bi Siti sangat mengkhawatirkannya. Dia sudah tidak sanggup untuk
berkata-kata lagi.
Setelah mandi dan berganti baju, ia segera
membaringkan tubuhnya. Pikirannya kembali melayang. Air matanya mulai membasahi
pipi tanpa ia tau apa penyebabnya. Semuanya berkecamuk didalam hati.
***
Sabtu pagi, seperti biasa, Rio menjemput Metha
untuk berangkat ke sekolah.
“Metha.!
Kamu lelet banget sih. Udah gak usah dandan, kamu gak bakalan berubah jadi
cantik” kata Rio berteriak dan tertawa
“Cerewet.!
Jelek.! Kamu tuh yang kepagian” sahut Metha, keluar dari rumah dengan
terburu-buru sambil membawa roti
“Dasar
siput.!” ejek Rio seraya merampas sepotong roti Metha dan menghidupkan mobil,
bergegas menjalankannya
“Nyebelin.!” gerutu Metha
Seperti yang sebelum-sebelumnya, Rio hanya
bercerita tentang dirinya sendiri, dan seperti biasanya juga Metha enggan untuk
mendengarkan. Walaupun dia merasa ada yang janggal. Tiba-tiba mobil Rio
berhenti.
“Kenapa
mogok ya? Kehabisan bensin? Ato bannya bocor? Aduh.. gimana ini?” ujar Metha
kalang kabut
“Princess
Snail. Dari tadi aku ngoceh sampai berbusa, kamu gak dengerin?”
“Biasanya
juga gitukan? Paling-paling kamu cerita tentang cewek-cewekmu yang seabrek itu”
kata Metha sok tau
“Aku sudah
sering bilang, mereka bukan pacarku...”
“Ok.
Gebetan..”
“Aku yang
gebetan mereka” ujar Rio cekikikan. “Aku mau pindah September besok”
“Oh ya?
Cepet-cepet deh. Aku males liat kamu terus” ucap Metha cuek
Mereka pun sampai di sekolah, SMA KOMPLEK Surabaya
dan berpencar menuju kelas masing-masing. Rio menuju lorong kelas XI, sedangkan
Metha menuju lorong kelas X. Tapi setelah bel istirahat pertama, ada pengumuman
bahwa seluruh murid kelas X dipulangkan. Metha pun bergegas untuk pulang.
Ternyata Rio sudah menunggu di gerbang.
“Pulang
naik apa Princess Snail?”
“Naik
elang”
“Busett…”
“Masalah
buat lo?”
“Hahahaa…
Nanti malam aku jemput ya”
“Mau
kemana?”
“Kasih tau
gak yaaa” goda Rio
Rio langsung pergi menjauh sambil tersenyum manis.
Manis sekali, membuat Metha hampir meleleh dicuaca semendung ini. Wajahnya pun
memerah, darahnya seperti berhenti mengalir, jantungnya berdetak kencang. Ingin
rasanya memanggil Rio dan mengatakan bahwa… Tapi sudahlah. Lupakan…
***
Metha terbangun dari tidurnya, dengan mata yang
sembab dan bengkak serta rambut yang acak-acakan. Ia segera meraih HPnya yang sejak kemarin
tersilent.
“Rio. Mama. Papa. Rio. Rio. Rio……… Rio kurang
kerjaan. Miscall segini banyak”
Metha keluar kamar, tentu saja setelah dia selesai
mandi. Rasa lapar yang dia rasa mengalahkan rasa malasnya.
“Mba. Ini
ada titipan dari Mas Rio. Katanya....” ujar Bi Siti belum selesai bicara
“Rio
kesini? Kapan?” tanya Metha bingung dan segera mengambil titipan yang dimaksud,
diatas meja, didekat kalender
“Kapan Rio kesini Bi?” tanyanya dengan suara
yang bergetar
“Tadi malam
Mba. Katanya Mas Rio mau….”
Metha bergegas menuju kamarnya dan mengambil kunci
mobil. Dia menuju rumah Rio. Rumahnya sepi, sepi sekali. Metha mencoba
menghubungi HP Rio tapi tidak aktif. Metha terduduk didepan pagar.
“Bodohnya
kamu Tha. Tadi malam itu harusnya kamu bilang kalo kamu…” gumam Metha
Metha
mencoba menghubungi Rio lagi. Nyambung…
“Kenapa
Tha?” ujar Rio. Suaranya halus. Membuat Metha seperti terbang ke angkasa
“Rio..
Maafin aku ya. Aku…” suara Metha bergetar
“Iya. Gak
papa. Gimana bonekanya? Bee.. Kamu sukakan?”
“Sukalah.
Aku kan emang suka banget sama Bee..” padahal dia belum tau apa yang
dihadiahkan Rio padanya. Keburu kabur kerumah Rio.
“Aku mau
pindah ke Jogja. Nanti kalo kamu kangen aku, main kesini ya..”
“Kalo kamu
yang kangen? Kamu yang kesini?”
“Kalo aku
yang kangen trus aku yang kesana. Tiap hari aku kesana. Bangkrut papa mamaku”
“Papa
mamaku juga bisa bangkrut kalo pas aku kangen kamu aku harus ke Jogja”
“Itulah
gunanya Bee..” suara Rio terasa dekat
Tiba-tiba
ada yang menepuk pundaknya.
“Maaf mba.
Kami sekeluarga mau pindah ke Jogja..” suara itu cekikikan
“RIO….!!!!”
“Aku cinta
kamu, Tha..” suaranya kembali menghalus
Semua
terasa damai. Air mata keduanya pun mengalir lembut. Selembut pelukan Rio pada
Metha..
By: Melina
Varian (3 Maret 2012)